Minggu, 22 Januari 2012

Ritus Ondo Gunung, Refleksi di Ujung Tahun

Guntur berentetan menggelegar, disusul gerimis menetes terkesan malu-malu membasahi kawasan tepi alur Sungai Pabelan Mati, sekitar 3,5 kilometer timur Candi Borobudur.Berbalut tatanan kain batik yang seakan mengambarkan kemegahan figur raja, seorang pemimpin seniman petani Komunitas Lima Gunung Magelang, Sitras Anjilin, berdiri di tengah konfigurasi lingkaran mereka lainnya di panggung terbuka Taman Metamorfosa Studio Mendut, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, satu malam menjelang pergantian Tahun 2011 ke 2012.Gemericik air mengalir di alur Kali Pabelan Mati, yang diduga bekas jalur banjir lahar Gunung Merapi tempo dulu, menjadi pewarna kental atas pergelaran "Ritus Ondo Gunung" oleh KLG Magelang dengan penonton dalam jumlah terbatas.Hujan cukup deras memang baru saja turun di kawasan itu, pada sore hari. Tatkala gelap mulai menusuk sekitar Kali Pabelan Mati itu, seakan hujan meluangkan waktu untuk mereka mementaskan refleksi akhir tahun "Ritus Ondo Gunung" komunitas seniman petani tersebut.Sejumlah orang mengusung dua batang gedebok sebagai bagian dari kelir wayang kulit kontemporer yang dimainkan komunitas seniman petani "Sanggar Saujana", Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, di antara Gunung Merapi dengan Merbabu, pimpinan Sujono.Dalang Heru Setyawan berpakaian adat Jawa gaya Yogyakarta, duduk bersila di atas tanah di antara dua kelir kontemporer itu, memainkan lakon "Wangsit Ponconingrat".Musik gamelan ditabuh para pengrawit dengan sentuhan "kepyak" dan "kecrek" dari kaki sang dalang muda, anggota komunitas "Sanggar Saujana" itu pun bertalu-talu mewarnai penceritaan "Wangsit Poncowati".Lakon carangan berdurasi cukup singkat itu bertutur pencarian makna "Wangsit Poncowati" yang diterima tokoh wayang Ongkowijoyo atau Abimayu dari para dewa di kayangan. Ia dikisahkan bertanya kepada Semar tentang wangsit itu yang ternyata berisi makna "lima ondo" atau lima tangga pencapaian kehidupan manusia.Ongkowijoyo yang kemudian bertapa di hutan, diceritakan sang dalang berhasil mengalahkan Cakil dan para buto raksasa karena memiliki kesaktian atas makna "Wangsit Poncowati".Seniman lainnya yang memainkan ritus sebagai pentas refleksi akhir tahun komunitas seniman petani Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh itu dengan berbagai properti antara lain Ismanto, Sujono, Sucipto, Supadi, Riyadi, Wenti Nuryani, Rahmad Murti Waskito, Djoko Widiyanto, Pangadi, Noviana Ayomsari, dan Dorothea Rosa Herliany. Mereka serba berpakaian warna hitam dengan iket dan belangkon di kepala.Dua seniman gadis, Dian dan Alfi, masing-masing mengenakan pakaian adat peranakan Jawa, duduk simpuh mengapit Pangadi, pemimpin "Sanggar Wonoseni" Kecamatan Bandongan, yang bersila dengan di depannya berproperti kendi, bunga mawar, dan tempayan berisi air.Mereka memainkan performa ritus "Ondo Langit" lambang refleksi tentang ilmu pengetahuan yang tak pernah berujung untuk diteguk.Terkait dengan ritus "Ondo Langit", pemimpin tertinggi KLG Magelang Sutanto Mendut menyebut kata "menoreh" untuk nama Pegunungan Menoreh, tak lepas dari pesan simbolis tentang budaya "membaca dan menulis"."Menoreh adalah menulis sesuatu, mencatat apa saja. Kita lemah dalam kerangka kebudayaan menulis. Sekarang orang ramai-ramai menulis di jejaring sosial. Tetapi apakah itu bukan sekadar karena kekosongan jiwa. Masyarakat Jepang, China, Myanmar, Thailand mempunyai catatan lengkap dibanding masyarakat Indonesia saat ini yang memuja kebudayaan," katanya.Sutanto yang juga pengajar Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu mengemukakan, nenek moyang bangsa Indonesia hidup dalam belenggu ilmu pengetahuan dan kearifan yang kemudian ditorehkannya dalam wujud kesenian, gamelan, wayang kulit, ataupun Candi Borobudur.Belajar yang sesungguhnya, katanya, telah dilakoni nenek moyang bangsa sehingga mereka menghasilkan karya kebudayaan yang hingga saat ini diagungkan secara turun-temurun, antargenerasi."Tetapi generasi saat ini terlena dengan keagungan, lupa mencatat setiap ’lelakon’ apa saja. Hasilnya antara lain banyak seniman melakukan tindakan kesenian tanpa latar belakang ilmu pengetahuan, sehingga asal di panggung dan dipotret. Dan ketika turun panggung terjadi ketidakseimbangan diri dengan kehidupan nyata," katanya.Lelaki tua berkarakter kekar berasal dari Gunung Merbabu, Sucipto, duduk bersila di tanah panggung terbuka berproperti payung raksasa dengan kerangka besi. Di depannya setumpuk penuh kembang mawar merah putih, sedangkan di sampingnya properti ritus mereka tentang "Ondo Kencono", lambang refleksi tentang kekuasaan.Ritus "Ondo Kencono" disebut Riyadi yang juga pemimpin Padepokan "Wargo Budoyo Gejayan" Kecamatan Pakis, lereng Gunung Merbabu sebagai refleksi pencapaian manusia atas suatu cita-cita, termasuk keinginan meraih kursi kekuasaan."Saya prihatin. Yang terjadi itu kekuasaan bukan untuk orang baik, benar, dan jujur, tetapi orang berduit yang memperoleh kekuasaan. Mungkin ini bagian dari suatu proses. Tetapi nanti yang terjadi tidak ubahnya dengan kemarin, yang berkuasa yang punya duit," katanya.Seniman Sujono berpakaian adat Jawa warna hitam dengan surjan, bebet, dan belangkon bersama empat pelaku juru kunci Museum Kali Wangsit di tepi Kali Pabelan Mati itu, Djoko, Fredy, Arwanto, dan Kipli, masing-masing berbalut kain hitam, memainkan gerakan performa "Ondo Bumi" di sudut panggung Taman Metamorfosa.Ritus "Ondo Bumi", menurut Sujono, lambang refleksi kesejahteraan petani yang hingga saat ini masih sebatas permainan harga panenan hasil bumi mereka oleh para pihak yang berkepentingan.Di ujung panggung terbuka, tepatnya di depan dua patung batu penghias Taman Metamorfosa itu, Wenti dan Waskito, memainkan performa sambil masing-masing duduk timpuh dan bersila, dengan di depannya bunga mawar di atas cobek beralaskan secarik kain merah. Mereka memainkan ritus "Ondo Tresno", simbol refleksi cinta yang penuh makna universal."’Tresno’ atau cinta bukan sekadar antara laki-laki dengan perempuan, tetapi ’tresno’ kepada lingkungan, sesama, kebudayaan. Banyak peristiwa selama 2011 menjadi keprihatinan bersama karena tidak ada ’tresno’. Tindakan kekerasan tidak menyelesaikan persoalan kekerasan itu sendiri seperti kasus Bima dan Mesuji. Juga bunuh diri massal, bapaknya, ibunya dengan anaknya. Kalau memang mencintai tentu ingin memberikan yang terbaik kepada yang dicintai," kata Wenti.Berbagai tindak kekerasan, kata Wenti yang juga pengajar tari Universitas Negeri Yogyakarta itu, karena tekanan psikologis dan sosial dialami masyarakat, sedangkan negara memiliki andil cukup signifikan terhadap merebaknya tekanan hidup karena belum berhasil menyemai rasa aman dan nyaman masyarakat.Ia menyebut negara belum berhasil membangun "tresno" dengan rakyat sehingga muncul sejumlah kelompok arogan yang secara latah mengejawantahkan semboyan "sedumuk bathuk senyari bumi, dilakoni nganti pati", yang kira-kira maksudnya suatu pembelaan secara mati-matian."Ondo Jiwo"Sitras yang juga pemimpin Padepokan "Tjipto Boedojo Tutup Ngisor" di lereng barat Gunung Merapi, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, melakukan performa gerak "Ondo Jiwo", seakan mengikuti tembang bahasa Jawa berlanggam kreasi yang dilantunkan Noviana dari pojok gelap di samping patung batu setinggi dua meter, Monumen Lima Gunung.Tembang berjudul "Amurwani" yang dilantunkan Noviana yang mahasiswi Jurusan Tari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta itu, kira-kira berisi pesan pentingnya setiap orang meneladan kebaikan karena kebaikan menjadi kekuatan penopang dari berbagai mara bahaya, modal penolong terhadap sesama yang sedang menghadapi bencana, dan fondasi atas perlindungan manusia oleh Tuhan."’Amurwani sinunggati, mrih tulodho, sinanggite pasemone mugi hayu rahayu, kalising bebendhu, pinayoman Hyang Agung, asih mring nugroho, pinayoman pinayoman mring Hyang Agung, maha asih mring nugroho’," demikian sepenggal tembang tersebut.Selagi tembang itu melantun, Supadi yang juga pemimpin grup kesenian "Andong Jiwani" Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, di lereng Gunung Andong, sambil berjalan perlahan di antara pancangan properti sejumlah tiang bambu berbalut kain hitam dengan bercantelkan aneka topeng kayu bertutup kukusan di panggung, melafalkan abjad Jawa."’Ha, Na, Ca, Ra, Ka. Da, Ta, Sa, Wa, La. Pa, Dha, Ja, Ya, Nya. Ma, Ga, Ba, Tha, Nga’," demikian lafal yang diucapkannya berulang-ulang, menghasilkan iringan bunyi menyerupai mantra dan menghias suasana pentas refleksi akhir tahun KLG, berdurasi sekitar 1,5 jam itu.Penyair Dorothea Rosa Herliany dari sudut gelap panggung juga membalut aura pentas refleksi itu melalui pembacaan puisi berbahasa Inggris karyanya "Dancer in the Land of Love".Tetesan-tetesan air turun dari pucuk dedaunan pepohonan dan sudut berbagai patung batu di Taman Metamorfosa Studio Mendut, ketika malam itu Ismanto yang juga pemimpin grup komunitas "Gadung Mati" Desa Sengi, Kecamatan Dukun, di lereng Gunung Merapi, didampingi anak gadisnya, Sekar, menimpali performa seniman petani dengan mengucapkan berulang-ulang kalimat "’Dha lara’" yang artinya "mereka sakit".Saat sesi pidato refleksi kebudayaan Lima Gunung, Sitras Anjilin mengemukakan peranan jiwa sebagai inti kehidupan, pusat pikiran dan tindakan setiap manusia, termasuk yang menghasilkan karya budaya."Orang sakit jiwa tidak bisa memerintah budi, tindakannya seenaknya saja karena jiwa tidak menjadi kusir atas budi dan panca indera. Saya rasakan tahun 2011 banyak orang tidak menjiwai profesinya. Jiwa kepemimpinan, pedagang, seniman sudah hampa. Mungkin jiwanya bukan sakit jiwa, tetapi mengalami kejenuhan jiwa," katanya.Ia mengatakan, orang divonis mati jika telah ditinggalkan oleh jiwanya.Tetapi, Sitras yang juga pemimpin spiritual KLG itu juga menyebut ketidakseimbangan antara jiwa dengan raga membuat banyak orang hidup dalam kecemasan, tanpa pengharapan, dan "makarti" atau tindakannya tidak lurus."Kalau satu orang jiwanya tidak stabil, akan memengaruhi lingkungan. Banyak orang jiwanya tidak stabil saat ini. Kita perlu selalu berusaha menyadari dan mengontrol jiwa kita. Saya mengajak meneliti jiwa kita, masih utuh atau berkurang. Masih betul-betul waras atau sedikit ada penyakitnya," katanya.Melalui "Ritus Ondo Gunung" itu, kalangan petani gunung pun mengajak siapa saja berani bercermin. Mumpung di ujung tahun.
sumber : Kompas

LERENG MERAPI & MERBABU Rawan Longsor

BOYOLALI--Warga di wilayah lereng Merapi dan Merbabu diminta meningkatkan kewaspadaan terhadap ancaman tanah longsor menyusul tingginya curah hujan sejak awal tahun ini. Imbauan tersebut disampailkan Asisten II Setda Boyolali, Juwaris, pada apel pagi di halaman Pendopo Pemkab Boyolali, belum lama ini.
Menurut Juwaris, berdasarkan data dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), curah hujan pada Januari 2012 diramalkan cukup tinggi.
“Jika curah hujan tinggi membuat wilayah tebing dan pegunungan di kawasan Gunung Merapi dan Merbabu kan rawan longsor. Kami meminta warga di wilayah lereng Merapi dan Merbabu waspada sehingga jika terjadi tanah longsor bisa dihindari jatuhnya korban jiwa,” ujar Juwaris, dalam rilis kepada wartawan, Kamis (19/1).

sumber : Solopos

Warga Pakis Lakukan Ritual

PAKIS -


Ratusan warga Dusun Warangan, Desa Muneng Warangan, Kecamatan Pakis, Magelang ramai-ramai berjalan menuju sumber air di Kali Puyam Lereng Kaki Gunung Merbabu, kemarin (12/1). Sambil membawa berbagai sesaji, mereka berjalan menuju sumber air yang berjarak 2,5 km dari desa itu untuk melaksanakan Saparan menyambut datangnya bulan Sapar. Sumber air Kali Puyam telah digunakan warga sejak 1982 sebagai satu-satunya sumber air bersih untuk mencukupi sebanyak 146 kepala keluarga (KK) di desa itu. Sesampainya di sebuah gundukan batu besar, warga menghentikan langkah. Tetua desa lalu meminta warga meletakkan sesaji yang mereka bawa. Jenis makanan yang diletakkan beragam, seperti nasi putih, ingkung ayam, mie, dan perlengkapan sesaji lainnya. Sejurus kemudian, tetua desa memimpin doa. Setelah tetua kembali meminta warga untuk mencampur aneka makanan tersebut. Setelah tercampur, dia berdoa kembali dan meminta warga untuk makan bersama. ”Ini sudah tradisi kami sejak lama. Selain untuk menyambut datangnya bulan Sapar, ini juga untuk keselamatan desa,” kata Handoko, tokoh masyarakat setempat.



Menurut Sekretaris Desa Muneng Warangan, Budi Santoso, tradisi itu sudah dilaksanakan sejak 1982. Saat itu, warga terbebas dari kesulitan air bersih dengan ditemukannya sumber mata air di Kali Puyam. Sebagai wujud syukur saat itu, warga menggelar selamatan dengan dimeriahkan aneka hiburan dan kesenian tradisional. ”Sejak itulah, tradisi ini digelar hingga kini. Ini juga sekalian memperingati datangnya bulan Sapar yang juga diperingati warga tiap tahun,” imbuhnya. Usai ritual di Kali Puyam, acara dilanjutkan dengan pesta kesenian rakyat di dusun Warangan. Diawali tari Prajuritan dari Sanggar Warangan Merbabu pimpinan Handoko, dilanjutkan pementasan Topeng Ireng, Kubro Siswo, Kuda Lumping dan Warok Anak, dan lainnya. Sementara itu, kegiatan serupa juga dilakukan warga Dusun dan Desa Jambe Wangi di Kecamatan Pakis. Bedanya, warga Jambe menggelar pesta rakyat untuk memperingati hari jadi (merti) dusun/desa. Selain itu, kegiatan itu juga untuk menyambut datangnya bulan Sapar. Di Jambe, kegiatan juga diramaikan dengan hiburan rakyat berupa wayang kulit dengan dalang Ki Jumbuh dari Kecamatan Pakis. Sebelumnya, mereka melakukan ziarah kubur ke makam leluhur. Yang menarik, saat acara doa bersama (kenduri) disisipi sosialisasi program pemerintah tentang administrasi kependudukan yang baru sebagai persiapan E-KTP. Sosialisasi dilakukan oleh Sekretaris Kecamatan Pakis, Mashadi. (dem/yus)
sumber : radarjogja










Senin, 02 Januari 2012

Film Indonesia (lereng merbabu) raih penghargaan khusus di festival film Dubai

London (ANTARA News) - Film dokumenter karya sineas muda Indonesia, Shalahuddin Siregar, "The Land Beneath the Fog" atau Negeri di Bawah Kabut meraih penghargaan khusus Special Jury Prize Muhr Asia Africa Documentary Awards pada festival film internasional di Dubai .

Dalam The 8th Dubai International Film Festival 2011 (DIFF) karya Shalahuddin Siregar bersaing dengan 10 film finalis lainnya yang diseleksi untuk kategori Film Dokumenter Asia Afrika, ujar Sekretaris Pertama/ Konsul Fungsi Pensosbud KJRI Dubai, Adiguna Wijaya kepada ANTARA London, Jumat.

Penghargaan ini merupakan yang pertama kalinya diterima film dokumenter Indonesia ini mengiringi pemutaran perdananya (World Premiere) dalam acara penutupan kegiatan DIFF 2011 di hotel Jumeirah Zabeel Saray yang berlokasi di pulau buatan berbentuk pohon palem di Dubai.

Tahun ini sebanyak 36 penghargaan dengan total hadiah dalam bentuk uang sebesar 600.000 dolar AS diberikan untuk kategori film pendek, dokumenter dan features berdasarkan tiga kategori yaitu Muhr Emirati Awards, Muhr Arab Awards, dan Muhr Asia Africa Awards.

Para juri untuk berbagai film yang dikompetisikan dalam film DIFF 2011 berasal dari kalangan kritikus film, pelaku industri perfilman maupun sineas terkemuka di kawasan maupun dunia internasional, termasuk lembaga The International Federation of Film Critic's (FIPRESCI).


Apresiasi Dunia

Sutradara Shalahuddin Siregar menyatakan kegembiraan dan kepuasannya mendapatkan penghargaan yang membuktikan apresiasi dunia internasional terhadap hasil karya sineas Indonesia serta kerja kerasnya bersama tim produksi selama ini.

Dikatakannya proses pembuatan film dokumenter panjang yang baru pertama kali dilakukannya cukup lama dan berliku dan bahkan sempat beberapa kali ditolak proposal pembuatannya oleh beberapa kalangan di dalam negeri, karena perbedaan pandangan tema yang diangkat dalam film ini.

Menanggapi prestasi sineas muda Indonesia tersebut dalam ajang festival film bergengsi di kawasan Timur Tengah, Asia dan Afrika ini Konjen RI Dubai, Mansyur Pangeran, menyatakan kebanggaannya hal ini membuktikan kualitas sineas dan film Indonesia telah diakui secara internasional dan mampu bersaing secara global.

Hal ini juga membuktikan bahwa tema cerita yang diangkat melalui film tersebut sifatnya universal dan mengena dalam lingkup perfilman internasional. Dikatakannya terpilihnya film dokumenter Indonesia ini dari sekitar 1.700 film merupakan prestasi dan kebanggaan tersendiri dan bahkan berhasil menjadi salah satu dari 10 finalis dan akhirnya menyabet penghargaan.

Menurut Konjen, DIFF menjadi salah satu platform yang berpengaruh serta mendukung perkembangan dan kemajuan industri film di kawasan Timur Tengah.

Selama DIFF 2011 yang diresmikan Wakil Presiden PEA/Perdana Menteri PEA dan Ruler of Dubai, Sheikh Mohammad Bin Rashid Al Maktoum digelar lokakarya, seminar, kompetisi film dengan hadiah ratusan ribu dolar AS, pentas musik, serta aksi penggalangan dana amal yang berhasil mengumpulkan dana sebesar satu juta dollr AS.

Hal ini mendorong semakin terbukanya akses dan interaksi antar budaya maupun masyarakat umum penikmat film melalui industri perfilman dari berbagai kawasan di dunia, seperti Asia, Afrika, Eropa dan Amerika.

Sutradara Shalahuddin menjelaskan proses awal proyek film yang bernaung di bawah rumah produski "Studio Kecil" dimulai tahun 2006 melalui riset yang dilakukannya bersama tim selama dua tahun.

Selanjutnya, proses produksi dan pembuatan film ini memakan waktu empat tahun dan melibatkan empat kru dengan dua asisten dan seorang perekam suara. Tahap penyelesaian film ini memakan waktu selama 18 bulan, hingga siap tayang pada tahun 2011. Produksi film ini mendapat dukungan dari Goethe-Institut Jakarta, Dewan Kesenian Jakarta, Ford Foundation dan Blue Post Asia.

Proyek film yang mulai terealisasikan 2009 melalui program kerja sama Goethe-Institut Jakarta dan Dewan Kesenian Jakarta, yaitu "Documentary Cinema Capacity Building Programme: Indonesia-Ten Years After Reformasi".

Sebelumnya, pada tahun yang sama pra-proyek film ini juga turut terpilih untuk dikembangkan lebih lanjut melalui program ?Doc Station 2009 Berlinale Talent Campus?Berlin International Film Festival? bersama 11 proyek film lainnya dari 11 negara yang lolos seleksi dari 3.800 pelamar yang berasal dari 128 negara.


Kehidupan Petani

Film ini menggambarkan kehidupan masyarakat petani di desa Genikan di lereng gunung Merbabu yang mendasarkan mata pencarian bertani mereka dengan kalendar tradisional Jawa untuk menandai pergantian musim bercocok tanam.

Film berdurasi sekitar 105 menit ini menyoroti mengenai keseharian kehidupan petani yang terpengaruh oleh perubahan iklim mengisahkan tokoh Muryati dan Sudardi yang berusaha memahami terjadinya perubahan iklim yang tidak menentu membuat panen lahan pertanian mereka gagal, disamping menghadapi polemik rendahnya harga jual hasil pertanian di pasaran.

Sementara itu, tokoh Arifin dihadapkan pada permasalahan sistem sekolah negeri yang kompleks baginya dan kekhawatiran akan masa depan yang dihadapinya.

Secara umum, film ini menyajikan perjalanan visual bagi para penonton untuk melihat lebih dekat keterhubungan antar anggota keluarga di desa Genikan, serta upaya mereka untuk bertahan hidup dari lingkaran kemiskinan.

DIFF 2011 menayangkan 171 film dari 54 negara, serta dari Hong Kong dan China Taipeh, dengan 45 bahasa berbeda dari seluruh dunia yang merupakan hasil pilihan dari sekitar 1.700 film mendapat dukungan dari Pemerintah Dubai dan beberapa BUMN utama Dubai, berlangsung di empat tempat yang berbeda di kota Dubai.


Red Carpet

Festival film yang mengambil tema "Bridging Cultures, Meeting Minds" dihadiri sekitar 1.100 orang dari kalangan industri perfilman dari kawasan Timur Tengah, Asia dan Afrika serta Eropa dan Amerika Serikat, baik para bintang film, sutradara, produser, distributor maupun kalangan sineas pendukung industri perfilman lainnya.

Pembukaan DIFF 2011 ditandai dengan acara Red Carpet dan World Gala Premiere pemutaran perdana film "Mission Impossible: Ghost Protocol" (MI:4) dihadiri para bintang film aktor dan aktris Hollywood Tom Cruise, Paula Patton, aktor Inggris Simon Pegg, aktor Bollywood Anil Kapoor, sutradara Brad Bird serta produser Bryan Burk.

Turut hadir pengarang dan penyanyi terkenal India pemenang Oscar, A.R. Rahman yang menerima "Lifetime Achievement Award" dalam DIFF tahun ini. Selain itu hadir aktor Hollywood Owen Wilson, aktor dan aktris Bollywood Shah Rukh Khan, Anusha Sharma, Ranveer Singh, Rahul Bose dan Priyanka Chopra, sutradara India Farhan Akhtar, mantan supermodel internasional asal Denmark Helena Christensen, penyanyi Inggris Ronan Keating dan bintang film terkenal dari beberapa negara yang filmnya diputar dalam DIFF 2011. (ZG)

sumber antara

Tradisi Buka Luwur di Lereng Gunung Merbabu

Metrotvnews.com, Boyolali: Tradisi Buka Luwur, berupa penggantian kain penutup pusara di makam Syeck Maulana Ibrahim Maghribi atau Ki Ageng Pantara, tokoh penyebar agama Islam yang hidup di jaman Kerajaan Demak, kembali digelar di lereng Gunung Merbabu, Boyolali, Jawa Tengah, kemarin.



Tradisi sudah turun temurun. Kegiatan ini acap dibanjiri peziarah dari berbagai daerah, bahkan ada yang datang dari Kalimantan dan Sumatra. Mereka percaya, andai bisa mendapatkan potongan kain luwur dan nasi takir, hidup mereka bakal sejahtera, selamat, dan sukses.



Buka Luwur diawali dengan kirab kain luwur dan gunungan nasi tumpeng. Usai diarak, kain diserahkan kepada juru kunci makam. Sang juru kuncen-lah yang bakal mengganti penutup makam Syeck Maulana Ibrahim Maghribi.



Belum tuntas sampai di situ. Setelah kain diganti, prosesi dilanjutkan tabur bunga, tahlil, kenduri, dan doa. Puncaknya, pengunjung akan berebut nasi takir dan potongan kain kafan bekas luwur makam Ki Ageng Pantaran. Namun tak jarang hiasan janur kuning pun jadi rebutan.(Iwan Purwoko/Wtr4)



sumber metrotvnews

Durian Candy Bisa Miliki 1.300 Buah per Pohon

MAGELANG--MICOM: Pohon durian lokal di Dusun Mantenan, Desa Giyanti, Kecamatan Candimulyo, Magelang, Jawa Tengah selama satu musim bisa berbuah hingga 1.300 buah per pohon.



Kepala Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BPPKP), Kabupaten Magelang Agus Liem di Magelang, Sabtu, mengatakan, durian unggulan lokal tersebut merupakan indukan dan umur tanaman sudah tua.



"Salah satu indukan unggulan lokal yakni Joyo Candy. Joyo diambil dari nama pemiliknya dan Candy dari daerah asal Candimulyo," katanya.



Pohon Durian Joyo Candy saat baru berbunga, pedagang pengumpul sudah berani membeli calon buah tersebut dengan harga Rp12,5 juta pada musim ini. Sebelum buah menjadi besar, sudah dipesan oleh para pelanggan berasal dari berbagai daerah.



Ia mengatakan, durian indukan itu memiliki keunggulan dibandingkan dengan durian daerah lain yakni buah besar, daging tebal, rasanya manis, teksturnya lembut, dan kulitnya tipis sehingga mudah dibelah.



Menurut dia, ada beberapa pohon durian di lereng Gunung Merbabu setempat yang menjadi indukan. Saat ini, katanya, baru dilakukan pendataan jumlah keseluruhan pohon indukan di daerah itu.



Ia mengatakan, Candimulyo merupakan sentra durian. Berdasarkan hasil penelitian dan seleksi alam ternyata durian candy layak menjadi unggulan. Ia mengaku akan berupaya mengembangkan durian jenis itu dengan sistem mata tempel sehingga akan menghasilkan buah seperti induknya



sumber media indonesia