Sabtu, 17 Maret 2012

Dalam rengkuhan jagung manten

Tegel Suharsono (41), warga Gunung Merbabu, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, sigap menaiki tangga bambu untuk mencapai "paga" di dapur rumahnya, tempat penyimpanan jagung yang khusus persediaan pangan pokok keluarga, minimal selama setahun.

Di atas luweng dapur rumah itu terdapat "paga" seluas sekitar 10 meter persegi dengan ketinggian dari lantai tanah kira-kira dua meter. Hampir semua barang di "paga" dengan rangka kayu dan alas rajutan bambu itu berwarna hitam karena jelaga.

Luweng dengan dua lubang tepat di bawah onggokan jagung di "paga", tempat isterinya, Seneng (31), setiap hari memasak makanan untuk keluarga tersebut menggunakan kayu bakar. Asap dari bakaran kayu menimbulkan tebaran jelaga yang menempel di semua tempat di dapur itu.

Cahaya matahari siang itu menembus satu lubang seluas setengah meter persegi tembok rumah Tegel, hingga menerpa onggokan jagung yang belum dipipil atau disebut "ontong" dengan total sekitar 240 kilogram. Jagung itu hasil panenan Februari 2012. Sekarung jagung lokal lainnya yang kira-kira juga 240 kilogram tersandar di satu penyangga sudut "paga" adalah sisa musim panen Maret 2011.

"`Niki sing diwastani` (Ini yang namanya, red.) jagung manten," kata Tegel, yang warga Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, di lereng barat Gunung Merbabu itu.

Bapak dari anak semata wayang, pasangan suami-isteri itu, Suryadi (17), menunjukkan tujuh "ontong" jagung yang tergantung dengan tali plastik di atas alas "paga", tempat onggokan jagung lainnya.

Penyimpanan jagung di "paga", agar kering oleh pengaruh panas api dan asap dari luweng di bawahnya. Jika jagung dalam kondisi kering antara lain membuat tidak busuk dan bebas dari penyakit "bubuk". Bahkan, selama hari pertama hingga ketiga penempatan jagung di "paga", api dari luweng harus selalu menyala, sebagai tahap awal pengeringan panenan komoditas berkarbohidrat itu.

Tegel menggantungkan jagung manten tujuh "ontong" berdasarkan perhitungan waktu, saat dirinya panen pertama komoditas itu yang bertepatan dengan Selasa Wage. Dalam perhitungan kalender Jawa, Hari Selasa berangka tiga dan Wage empat, sehingga totalnya berjumlah tujuh.

Panen perdana jagung di arealnya seluas dua "kesok" atau 2.000 meter persegi selain melalui tradisi wiwit, juga melibatkan tokoh dusun yang oleh warga setempat dinamai "juru petung" (juru hitung) dan modin.

Di Dusun Gejayan yang saat ini terdiri atas 136 kepala keluarga atau 519 jiwa terdapat sejumlah "juru petung" yang masing-masing sudah berumur tua antara lain bernama Sunoto, Sucipto, Tumpuk, dan Mulyono, sedangkan modin yang memimpin tradisi wiwit juga beberapa orang di antaranya Wandi, Mulyono, Jumar, Jayadi, dan Tumpuk.

"Panen kemarin saya minta tolong Pak Wandi untuk memimpin wiwit dan membacakan doa-doa. Kalau untuk `juru petungnya` Pak Noto (Sunoto, red.)," katanya dalam bahasa Jawa.

Tidak semua ladangnya ditanami jagung, tetapi sebagian besar aneka sayuran secara tumpang sari, sebagai komoditas utama petani Gunung Merbabu. Ia dan sebagian besar warga setempat menanam jagung untuk persediaan makanan pokok keluarga.

Tradisi wiwit di kawasan itu berupa doa dan penempatan sesaji di areal tanaman jagung yang hendak dipanen. Warga membawa sesaji utama berupa kemenyan, telur, katul, tumpeng, terasi, lombok keriting, pelas (bungkil tempe), sayuran, lauk pauk goreng, jajan pasar, dan "calung" (tempat minum dari bambu).

Setelah sang modin memimpin tradisi itu, kemudian Tegel memilih tujuh "ontong" panenan jagung yang akan berstatus jagung manten. Ketentuan jagung manten dipilih yang pucuknya saling bertemu.

"Gambarannya itu, kalau sepasang pengantin diarak oleh banyak orang saat pesta pernikahan. Untuk jagung ini ada yang khusus disebut jagung manten, dengan harapan panenannya banyak sehingga petani membawa pulang jagung yang banyak itu seperti perarakan pengantin, cukup untuk kebutuhan setahun," kata Kepala Desa Banyusidi yang juga pemimpin Sanggar Warga Budaya Gejayan, Riyadi.

Sebagian kecil petani setempat juga menanam jagung jenis hibrida untuk dijual sebagai pakan ternak dan menu jagung manis atau jagung bakar, sedangkan jagung yang biasa mereka butuhkan untuk makanan pokok disebut jagung jawa.

Ketentuan tradisi masyarakat setempat, setiap pengambilan jagung dari "paga", tidak boleh bertepatan dengan Hari Sabtu dan oleh perempuan yang datang bulan. Dua ketentuan itu dipercaya warga setempat terkait dengan upaya mereka menghindarkan sial keluarga.

Dibandingkan dengan proses pengolahan padi menjadi nasi, cukup rumit dan butuh waktu lebih lama mengolah jagung sejak masih "ontong" menjadi nasi jagung.

Riyadi mengatakan, nasi jagung sejak zaman dahulu hingga saat ini masih menjadi makanan pokok warga Gunung Merbabu di desanya.

Sesekali, mereka juga makan nasi dari beras yang lebih simpel pengolahannya, apalagi saat masa sibuk mengolah pertanian.

"Kalau sekarang karena soal waktu, supaya lebih banyak bisa untuk menggarap ladang dan sayuran, sehingga sekali-kali makan nasi dari beras. Kalau ditanya enak mana jagung dengan beras, kalau saya tetap enak makan nasi jagung," kata Tegel.

Ia pun mengambil dari satu meja makan di rumahnya, "secething" (wadah nasi dari anyaman bambu, red.) nasi jagung masakan istrinya, dua hari lalu.

Pembuatan nasi jagung antara lain melalui tahapan pengupasan jagung "ontong" menjadi pipilan, "kecrok" berupa menumbuk secara manual menggunakan lumpang, perendaman selama tiga hari, pencucian untuk menghilangkan bau tak sedap, "pengecrokan" hingga menghasilkan tepung, pengukusan pertama untuk menghasilkan "karon", pengukusan kedua menjadi "kemeh", dan pengukusan ketiga menjadi nasi jagung siap santap.

Di dusun itu, seorang janda sekitar 55 tahun bernama Mbah Usrek secara khusus menjadi buruh "pengecrok" dengan upah Rp500 per kilogram jagung siap masak.

Ia memiliki masing-masing dua lumpang dan alu untuk melayani permintaan warga. Sebagian warga setempat sering memintanya menumbuk jagung hingga siap dimasak atau menjadi tepung jagung.

"Satu hari, dua sampai tiga tetangga datang minta jagungnya `dikecrok`, hasilnya tidak tentu, tetapi rata-rata tiga hingga lima kilogram per hari," katanya dalam bahasa Jawa.

Mbah Usrek yang tinggal di rumah kayu sederhana dan berlantai tanah tersebut, juga setiap hari makan nasi jagung. Di dapur rumahnya juga terdapat "paga" di atas luweng dengan stok jagung kering sekitar 70 "ontong".

Hampir semua rumah warga setempat memiliki "paga" dengan stok jagung, lumpang, dan alu dengan ukuran bervariasi untuk menumbuk jagung. Lumpang dari batu itu mereka letakkan di luar tempat tinggal masing-masing.

Perempuan dusun setempat, biasanya membutuhkan waktu selama sekitar empat jam untuk mengolah, dari pencucian untuk menghilangkan bau tak sedap jagung "kecrokan" menjadi nasi jagung siap santap.

Sekitar 50 "ontong" jagung menghasilkan kira-kira empat kilogram tepung jagung, untuk dimasak menjadi nasi jagung guna kebutuhan selama enam hari, seperti dialami keluarga Tegel.

Ia pun mengira-ira perbandingan dengan beras yang empat kilogram nasi beras untuk kebutuhan selama empat hari. Selain itu, nasi jagung mampu bertahan dalam kondisi tetap enak dimakan hingga tiga hari, sedangkan nasi beras sehari.

Harga jagung pipilan di tingkat petani setempat saat ini Rp2.500 per kilogram, sedangkan sekitar dua bulan lalu, saat belum panen raya, antara Rp3.000 hingga Rp3.500. Data Dinas Perdagangan dan Pasar Pemerintah Kabupaten Magelang selama 1-5 Maret 2012, harga jagung pipilan kering di sejumlah pasar tradisional skala besar di daerah itu stabil, Rp3.800 per kilogram.

Berdasarkan data Pemkab Magelang 2011 tentang produksi jagung, selama empat tahun terakhir cenderung mengalami penurunan. Pada 2008 produksi sebanyak 82.739 ton dengan luas panenan 15.489 hektare, pada 2009 sebanyak 77.470 ton dengan luas panenan 14.105 hektare, pada 2010 sebanyak 77.837 ton dengan luas panenan 13.739 hektare, dan pada 2011 sebanyak 63.184 ton dengan luas panenan 11.541 hektare.

Sebagian masyarakat di kawasan beberapa gunung yang mengelilingi Magelang seperti Merbabu, Andong, Sumbing, dan Merapi, hingga saat ini makan nasi jagung.

Bahkan, seperti di Dusun Gejayan di kawasan Merbabu, sekitar 90 persen dari total warga setempat masih makan nasi jagung untuk pemenuhan karbohidrat sehari-hari.

Mereka melengkapi sajian nasi jagung menjadi terasa "nyamleng" a
ntara lain dengan lauk ikan asin, sayuran tahu dan tempe bersantan, "kuluban" sawi, dan sambal kosek.

"`Langkung awet wareg e`," kata Tegel dalam bahasa Jawa yang maksudnya lebih lama terasa kenyang makan nasi jagung ketimbang nasi beras. (M029*H018)

Editor: B Kunto Wibisono

COPYRIGHT © 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar