Rabu, 15 Februari 2012

Bertahun-tahun Menjaga Tradisi Wedang Ronde

Oleh Bambang Isti

WEDANG ronde adalah eksotisme kota Salatiga. Di kota berhawa sejuk di lereng Gunung Merbabu ini pada setiap malamnya, orang bisa menikmati minuman rekreatif bernama ronde. Disebut rekreatif karena hanya cocok disajikan pada saat hawa dingin.

Itu sebabnya wedang ini berunsur bahan yang bisa menawarkan rasa dingin itu, misalnya jahe dan serai. Sedangkan ronde adalah unsur utama minuman manis ini, yakni berupa butiran-butiran "kue" seukuran bakso yang berasal dari adonan ketan, yang diisi dengan gula dan gerusan kacang tanah.

Bahan lain adalah irisan kolang-kaling dan agar-agar dan kacang tanah. Kuah dari minuman ini berunsur angat seperti serai dan jahe. Nah, kedua unsur inilah yang menyebabkan wedang ronde ini menjadi minuman hangat.

Sejarah wedang ronde sulit dirunut. Namun sekitar tahun 1930 an, minuman ini sudah populer di sekitar kota Boyolali, Solo, Salatiga dan Ambarawa. Konon minuman ini favorit pejuang nasional, tokoh Katholik Mgr Soegijapranata saat tinggal di Ambarawa.

Di kota Salatiga, tradisi wedangan ini ada di sebagian ruas jalan Jendral Sudirman. Persisnya di emperan Toko Tegal. Sebuah toko roti yang sudah berpuluh-puluh tahun berdiri. Di kawasan ini menjadi sentra penjual ronde.

Salah satunya yang mempertahankan tradisi perondean itu adalah Suparno. Dia ada diantara sekitar 15 tukang ronde. Namun ada yang membedakan Suparno dengan tukang ronde yang lain, yakni, dia masih menggunakan angkringan khas tukang ronde tahun 30 an.

Angkringan ini dibuat dari unsur rotan, kayu, lampu teplok, dan pemanas dengan bahan arang. Sedangkan penjual ronde di era moderen berada di gerobak dorong dengan penerangan listrik.

Suparno punya alasan, "Mengapa saya tidak memakai gerobak ya, saya ingin mempertahankan ciri khas di masa lalu saja, ingin melestarikan," kata Suparno Hari Sabtu (4/2) menjelang tengah malam.

Figuran film

Dalam usaha melestarikan itu tadi, akhirnya berbuah berkah. Karena belum lama ini, persisnya bulan November 2011 lalu, Suparno diajak sutradara Garin Nugroho main film "Soegija" saat melakukan take shoot di Ambarawa. Meski hanya sebagai figuran, "Tapi alhamdulillah saya dikasih honor Rp 200 ribu, hehe," kata Suparno.

Angkringan serta semua jualan Suparno diboyong ke musuem kereta api Ambarawa tempat Garin Nugroho membesut beberapa adegan. "Diajak main film itu menjadi pengalaman yang amat berharga, saya senang sekali," kata lelaki asli Boyolali ini.

Menjadi penjual ronde angkringan tampak bukan pilihan hidup Suparno. "Karena sebelumnya saya berdagang buah, tapi karena kesulitan modal dan terus merugi, saya pindah jualan ronde angkringan sampai sekarang," kata dia.

Dalam semalam buka dasar, minimal dia mengantungi untung antara Rp 50 ribu - Rp 100 ribu. "Tapi kalau sepi malah tidak sampai segitu," sambung Suparno.

Tidak mengapa, hidup adalah perjuangan. Karena kalau tidak ada Suparno dan segelintir para penjual ronde di Salatiga ini, siapa lagi yang akan melestarikan kuliner tradisional ini?

Pemkot Salatiga perlu melirik dan lebih serius memikirkan masa depan sektor informal ini. Karena dari para penjual ronde itu, beberapa buah mobil bernomor kendaraan luar kota parkir berderet di kawasan Toko Tegal ini. Mereka ingin menikmati sensasi hangatnya wedang ronde.

Bukankah ini kontribusi yang baik untuk popularitas kota Salatiga?


sumber : suara merdeka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar