Senin, 20 Februari 2012

Menebar Gembira di Atas Jembatan Desa

Oleh M. Hari Atmoko

Modin Bejo (52) berjalan menuju tengah jembatan, dia membawa sekeranjang bunga mawar dan tempayan warna hitam berisi pisang raja, kembang melati, kantil, serta kemenyan yang terbungkus daun pisang.

Lelaki yang mengenakan sendal jepit warna hitam, berpakaian motif batik, dan berpeci itu lalu bersila di atas jalan bertata batu di jembatan Sungai Gondang.

Jembatan itu penghubung Dusun Puluhan, Desa Banyusidi dengan Compok, Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, di antara dua tebing setinggi sekitar 15 meter.

Ibu jari dan telunjuk tangan kanannya mengapit sebongkah kecil kemenyan. Didekatkan kemenyan itu beberapa centimeter di depan mulutnya, lalu ia mulai melafalkan doa yang intinya ungkapan syukur warga atas selesai pembangunan jembatan antardusun di kawasan barat Gunung Merbabu tersebut.

Sejumlah burung berterbangan bebas sambil berkicau, mencari tempat hinggap di antara pepohonan pinus di kawasan itu.

Para penari tradisional topeng ireng grup Putra Baruna Dusun Puluhan berdiri berderet di jalan desa di bawah tebing tak jauh dari jembatan itu bersama anak-anak madrasah setempat yang memainkan drum band. Mereka bersama warga setempat turut masuk dalam suasana ritual syukur yang dilakukan sang modin di atas jembatan tersebut.

Ujung barat jembatan terpampang gapura kontemporer terbuat dari tatanan batang pohon "galar" beratap ijuk dengan hiasan sabut kelapa, daun pakis, rumbai-rumbai dari rangkaian buah aren, dan hiasan melengkung dari janur.

Persis di tengah bagian atap gapura kontemporer itu berupa instalasi dari ijuk membentuk semacam burung garuda. Di tengah gapura tergantung papan kecil bertuliskan "Selamat Datang", seolah tanda penyambutan siapa saja yang hendak masuk ke dusun itu melewati Jembatan Kali Gondang.

Tak beberapa lama kemudian, Bejo dengan disaksikan antara lain masyarakat setempat, Camat Pakis Wisnu Harjanto, Kepala Taman Nasional Gunung Merbabu Wilayah II Magelang Sihono, Kepala Desa Bayusidi Riyadi, dan Kepala Dusun Puluhan Suyitno, berdiri dan berjalan mengelilingi jembatan sambil menaburkan kembang mawar warna merah dan putih.

Camat Wisnu dengan pakaian seragam birokrat pemda setempat pun kemudian berdiri di tengah jembatan sepanjang 12 meter dan lebar empat meter itu.

Ia memegang sepasang burung merpati. Saat musik pengiring tarian topeng ireng dan satu nomor musik drum band dikumandangkan, sepasang burung itu pun dilepas dan terbang melewati pepohonan di antara dua tebing itu.

Jembatan lama yang dibangun secara swadaya masyarakat setempat era 1980-an hancur diterjang banjir sungai itu pada Desember 2010. Jembatan itu jalur utama yang memudahkan warga setempat, yang hendak menjual panenan hortikultura antara lain ke Pasar Pakis, Pasar Kaponan, dan Pasar Ngablak.

Selain itu, jembatan tersebut juga sarana paling dekat bagi anak-anak desa setempat untuk menjangkau sekolahnya di SMP dan SMA di kota Kecamatan Pakis.

Warga setempat berjumlah 231 jiwa atau 63 keluarga dengan hampir semuanya bermatapencaharian sebagai petani hortikultura terutama cabai, tomat, dan kubis.

Jembatan itu juga menjadi jalur penting untuk aktivitas perekonomian, akses pendidikan, dan kesehatan warga di beberapa desa lainnya di kawasan itu. "Itu jalur penting kami selama ini untuk menjangkau ibu kota kecamatan kami," kata Suyitno.

Warga harus menempuh jalan yang lebih jauh untuk keluar desanya atau menjangkau kota kecamatan guna berbagai kepentingan, akibat putusnya jembatan tersebut.

Pembangunan jembatan baru di atas sungai itu untuk menggantikan jembatan yang telah hancur dilakukan secara swakelola sejak Juli 2011 hingga awal Januari 2012.

Total biaya pembangunan jembatan baru mereka sekitar Rp94,714 juta. Sekitar Rp89 juta di antara total dana itu berasal dari alokasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Pedesaan 2011. Dana itu juga untuk pembangunan saluran air di sekitar jalan menuju jembatan. "Sempat terhambat pembangunannya satu bulan karena proses pencairan dana," katanya.

Camat Wisnu menyampaikan apresiasi atas selesainya pembangunan jembatan penghubung antardesa di kawasan gunung itu secara swakelola oleh masyarakat setempat.

"Ini syukuran masyarakat. Mereka juga harus merawat, menjaga, dan melestarikan lingkungan sekitar ini agar tetap lestari," katanya.

Ungkapan gembira atas selesainya pembangunan jembatan di desa mereka pun bagaikan makin diperkuat menjadi pesta masyarakat Gunung Merbabu.

Pusat dusun itu menjadi tempat keramaian masyarakat karena sejumlah pementasan kesenian tradisional seperti tarian "Ndayakan", "Geculan Bocah, dan "Gupolo Gunung". Belum lagi, puluhan orang di tepi kanan dan kiri jalan desa itu serta di teras-teras rumah warga setempat menggelar berbagai dagangan seperti jajanan, mainan anak-anak, pakaian, dan aneka menu makanan lainnya.

Tabuhan iringan musik tradisional seperti gamelan, "truntung" dan "jedor" menggema sepanjang siang hari di kawasan gunung itu. Deretan meja tamu di setiap rumah mereka bertata aneka makanan yang tersuguh baik dalam piring maupun "topeles" untuk siapa saja yang singgah.

Untuk jembatan baru di desanya, mereka tulus dan total mengungkap kegembiraannya.


sumber : Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar