Sabtu, 05 Mei 2012

Merbabu, Puncak Keindahan yang Mengagumkan dari Jawa Tengah



detikTravel Community - 



Kabut, udara dingin, hutan yang lebat, serta sulitnya air menjadi halangan selama pendakian Gunung Merbabu, Jateng. Tapi, bila Anda berhasil menaklukan puncaknya, pesona dan keindahan alamnya bisa jadi hadiah yang berharga.


Gunung Merbabu yang terbentang di Kabupaten Magelang dan Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah ini sudah menjadi primadona dikalangan para pendaki. Jalur yang sulit, udara dingin yang menusuk tulang jadi pertimbangan yang harus diperhatikan.


Bergaya di hadapan Merbabu



Kami pun mulai merencanakan perjalanan mendaki Merbabu. Pendakian kali ini memilih jalur Selo. Meskipun jalannya pagak panjang, pemandangan yang ditawarkan sangatlah indah dan mengagumkan.


Pukul 16.00 WIB kelompok sampai di basecamp. Istirahat sebentar dan menyesuaikan diri dengan hawa gunung yang sangat dingin bisa jadi pilihan tepat sebelum melakukan pendakian. Akhirnya, setelah semua dirasa cukup, sekitar pukul 17.00 WIB lebih pendakian pun dimulai.


Jalan yang menanjak, licin, dan banyak ranting pohon membuat nafas kami tak beraturan. Tak lama, Pos I Dok Malang pun berhasil kami lewati. Berhenti sejenak untuk mengatur ritme jantung sedari tadi berpacu dengan cepat. Kami pun melanjutkan perjalanan ke pos II dan III, Watu Tulis.


Malam menyelimuti perjalanan kami menuju puncak Merbabu. Sesekali berhenti di ujung bukit untuk melihat hamparan lampu kota yang seperti sungai mengalir menjadi hiburan selama perjalanan, "Indah, sangat indah." Luapan emosi jiwa ini pun tersalurkan ketika menatap tajam pesona lukisan Tuhan. Sejenak menikmati suguhan panorama alam yang membuat terasa segar dimata sangat sayang bila terlewatkan.


Pendakian kali ini pun akhirnya memasuki babak baru menuju Sabana I. Jalanan terjal dengan kemiringan 15 derajat siap menghadang. Rombongan terpecah menjadi dua bagian karena memang pada bagian ini ada 2 jalur.


Ah... badai semakin kencang dan kami memutuskan untuk mendirikan tenda di Pos Sabana I. Setengah jam kami mendirikan tenda, dan berjuang melawan terpaan angin yang dahsyat.


Pukul 02.00 WIB, tenda ini serasa mau roboh. Angin yang menyapa kami sangat banyak dan tidak tahu malu. Di dalam tenda kami hanya bisa berdoa memohon perlindungan kepada-Nya. Selamatlah, pagi pun menjelang, angin agak sedikit reda.


Pagi ini, puncak Klenteng Songo yang menjadi Puncak I Gunung Merbabu menjadi target selanjutnya. Pukul 09.00 WIB kami memulai perjalanan ke lokasi yang berada di ketinggian 3.142 mdpl. Sekitar jam 11.00 kami kembali bergabung dengan rombongan pendaki yang lain.


Mengisi waktu selama pendakian kami melakukan lutisan atau dalam bahasa Indonesianya dikenal dengan rujakan. Aktivitas seperti ini menjadi hal yang lumrah dilakukan para pendaki. Selain merekatkan kebersamaan sesi ini juga bisa digunakan untuk mencari teman baru dari rombongan lain yang tidak sengaja bertemu. Berfoto sejenak dan sedikit merasakan bius hawa gunung yang menembus hingga ke tulang terasa nikmat bersama dengan rujak yang kami santap.


Pemandangan alam di puncak Merbabu membuat mata ini tidak lelah untuk melolotot. Tubuh ini seakan tak merasakan lelah yang mendera, akibat pesona gagahnya Gunung Merapi yang sangat dekat dengan Gunung Merbabu. Hamparan sabana yang hijau menyerupai karpet hidup dan bunga edelwise tak lupa menyapa mata kami dengan warnanya yang khas.


Ehm... hiruk pikuk dan hingar bingar lampu sorot kehidupan kota seakan sirna dan hilang ketika berada di puncak kenikmatan ini. Menikmati kesuyian dan menghirup udara yang segar menjadi obat untuk tubuh ketika deru aktivitas duniawi melanda.


sumber :detiktravel

Sabtu, 21 April 2012

Desa Wisata Kopeng Tawarkan Ragam Tempat Berlibur








PEMANDANGAN
 alam pedesaan yang berpadu dengan keindahan tanaman bunga dan sayuran siap menyapa Anda saat bertandang ke Desa Wisata Kopeng di Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang. Sajian wisata yang bisa dinikmati antara lain wisata alam pegunungan, kebun bunga, petik strawberi, berkuda, kerajinan, budaya dan kuliner. Desa Wisata Kopeng Tawarkan Ragam Tempat BerliburDesa Wisata Kopeng Tawarkan Ragam Tempat Berlibur





Saat memasuki daerah wisata, hawa dingin pegunungan sudah mulai terasa. Semakin mendekati daerah Kopeng, wisatawan bisa menikmati panorama perkebunan sayur-sayuran segar seperti wortel, kol, kentang dan sawi. 

Di kawasan Desa Wisata Kopeng terdapat beberapa lokasi yang ideal dijadikan sebagai tempat berlibur bersama keluarga seperti area perkemahan atau lokasi outbond. Tersedia pula beberapa tempat untuk melangsungkan acara rapat dan seminar. 

Air terjun Umbul Songo (Sembilan mata air) menjadi salah satu objek wisata yang bisa dijumpai. Konon, air terjun dipercaya ditemukan oleh para wali saat jaman Demak yang menjadi sumber air untuk kebutuhan berwudhu. 

Tak ketinggalan terdapat sederetan villa yang umumnya difasilitasi dengan TV, air panas, ruang pertemuan, ruang makan, dapur, dan lahan parkir luas. Bagi mereka yang hobi mendaki, bisa menaklukan gunung Merbabu yang berketinggian 3150m. (jatengpromo.com/*/X-13)




Perjuangan Petani “Negeri di Bawah Kabut”




Kine Klub FISIP Universitas Diponegoro (Undip) punya acara seru nih, kawan. Tepatnya, Selasa 3 April 2012 Kine Klub mengadakan pemutaran dan diskusi film “Negeri di Bawah Kabut” di Ruang Teater FISIP Undip.


Film yang bercerita soal kehidupan petani di lereng Gunung Merbabu ini pertama kali diputar di Dubai International Film Festival 2011.


Sang sutradara, Salahudin Siregar awalnya hanya iseng-iseng dan nggak berpikiran buat menjadikannya sebagai film.


Cowok berkacamata ini pengen menyalurkan hobi fotografi dengan mengabadikan gambar kegiatan para petani di desa tersebut.


Lalu, Salahudin tertarik buat mengikuti kegiatan keluarga Arifin (12 tahun) dan keluarga Muryati (30). Muryati dan suaminya, Sudardi (32) harus bertahan menghadapi perubahan musim yang menggagalkan panen mereka.


Sementara itu, Arifin yang mendapatkan nilai tertinggi UN di sekolahnya terancam nggak bisa melanjutkan SMP. Sama seperti Muryati, orangtua Arifin yang juga petani kesulitan mendapatkan biaya buat sekolah Arifin. Namun, orangtua Arifin tetap berusaha mencari biaya demi menyekolahkan Arifin.


“Negeri di Bawah Kabut”  membuka mata kita, bahwa kehidupan petani tidaklah semudah yang kita kira. Seringkali, biaya perawatan sayuran nggak sebanding dengan harga penjualan saat panen. Mereka berjuang memenuhi kebutuhan hidup dari hasil panen yang kadang gagal. Walaupun demikian, mereka tetap bahagia karena kehangatan dan keakraban keluarga.


Kine Klub pengen mengajak kita, terutama masyarakat Semarang buat lebih menghargai film karya sineas Indonesia. Salah satunya, dengan memutarkan film yang memakan riset selama dua tahun ini. Semarang, menjadi kota pertama pemutaran film keliling ini dan ada 15 kota lagi yang disinggahi sampai akhir Juni 2012.


“Kami berharap mahasiswa lebih aware terhadap film Indonesia. Karena banyak film Indonesia yang berkualitas bagus”, ujar Ketua Pelaksana Pemutaran dan Diskusi Film “Negeri di Bawah Kabut”, Mikha.


Rizki|Foto: Jati





Sabtu, 17 Maret 2012

Dalam rengkuhan jagung manten

Tegel Suharsono (41), warga Gunung Merbabu, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, sigap menaiki tangga bambu untuk mencapai "paga" di dapur rumahnya, tempat penyimpanan jagung yang khusus persediaan pangan pokok keluarga, minimal selama setahun.

Di atas luweng dapur rumah itu terdapat "paga" seluas sekitar 10 meter persegi dengan ketinggian dari lantai tanah kira-kira dua meter. Hampir semua barang di "paga" dengan rangka kayu dan alas rajutan bambu itu berwarna hitam karena jelaga.

Luweng dengan dua lubang tepat di bawah onggokan jagung di "paga", tempat isterinya, Seneng (31), setiap hari memasak makanan untuk keluarga tersebut menggunakan kayu bakar. Asap dari bakaran kayu menimbulkan tebaran jelaga yang menempel di semua tempat di dapur itu.

Cahaya matahari siang itu menembus satu lubang seluas setengah meter persegi tembok rumah Tegel, hingga menerpa onggokan jagung yang belum dipipil atau disebut "ontong" dengan total sekitar 240 kilogram. Jagung itu hasil panenan Februari 2012. Sekarung jagung lokal lainnya yang kira-kira juga 240 kilogram tersandar di satu penyangga sudut "paga" adalah sisa musim panen Maret 2011.

"`Niki sing diwastani` (Ini yang namanya, red.) jagung manten," kata Tegel, yang warga Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, di lereng barat Gunung Merbabu itu.

Bapak dari anak semata wayang, pasangan suami-isteri itu, Suryadi (17), menunjukkan tujuh "ontong" jagung yang tergantung dengan tali plastik di atas alas "paga", tempat onggokan jagung lainnya.

Penyimpanan jagung di "paga", agar kering oleh pengaruh panas api dan asap dari luweng di bawahnya. Jika jagung dalam kondisi kering antara lain membuat tidak busuk dan bebas dari penyakit "bubuk". Bahkan, selama hari pertama hingga ketiga penempatan jagung di "paga", api dari luweng harus selalu menyala, sebagai tahap awal pengeringan panenan komoditas berkarbohidrat itu.

Tegel menggantungkan jagung manten tujuh "ontong" berdasarkan perhitungan waktu, saat dirinya panen pertama komoditas itu yang bertepatan dengan Selasa Wage. Dalam perhitungan kalender Jawa, Hari Selasa berangka tiga dan Wage empat, sehingga totalnya berjumlah tujuh.

Panen perdana jagung di arealnya seluas dua "kesok" atau 2.000 meter persegi selain melalui tradisi wiwit, juga melibatkan tokoh dusun yang oleh warga setempat dinamai "juru petung" (juru hitung) dan modin.

Di Dusun Gejayan yang saat ini terdiri atas 136 kepala keluarga atau 519 jiwa terdapat sejumlah "juru petung" yang masing-masing sudah berumur tua antara lain bernama Sunoto, Sucipto, Tumpuk, dan Mulyono, sedangkan modin yang memimpin tradisi wiwit juga beberapa orang di antaranya Wandi, Mulyono, Jumar, Jayadi, dan Tumpuk.

"Panen kemarin saya minta tolong Pak Wandi untuk memimpin wiwit dan membacakan doa-doa. Kalau untuk `juru petungnya` Pak Noto (Sunoto, red.)," katanya dalam bahasa Jawa.

Tidak semua ladangnya ditanami jagung, tetapi sebagian besar aneka sayuran secara tumpang sari, sebagai komoditas utama petani Gunung Merbabu. Ia dan sebagian besar warga setempat menanam jagung untuk persediaan makanan pokok keluarga.

Tradisi wiwit di kawasan itu berupa doa dan penempatan sesaji di areal tanaman jagung yang hendak dipanen. Warga membawa sesaji utama berupa kemenyan, telur, katul, tumpeng, terasi, lombok keriting, pelas (bungkil tempe), sayuran, lauk pauk goreng, jajan pasar, dan "calung" (tempat minum dari bambu).

Setelah sang modin memimpin tradisi itu, kemudian Tegel memilih tujuh "ontong" panenan jagung yang akan berstatus jagung manten. Ketentuan jagung manten dipilih yang pucuknya saling bertemu.

"Gambarannya itu, kalau sepasang pengantin diarak oleh banyak orang saat pesta pernikahan. Untuk jagung ini ada yang khusus disebut jagung manten, dengan harapan panenannya banyak sehingga petani membawa pulang jagung yang banyak itu seperti perarakan pengantin, cukup untuk kebutuhan setahun," kata Kepala Desa Banyusidi yang juga pemimpin Sanggar Warga Budaya Gejayan, Riyadi.

Sebagian kecil petani setempat juga menanam jagung jenis hibrida untuk dijual sebagai pakan ternak dan menu jagung manis atau jagung bakar, sedangkan jagung yang biasa mereka butuhkan untuk makanan pokok disebut jagung jawa.

Ketentuan tradisi masyarakat setempat, setiap pengambilan jagung dari "paga", tidak boleh bertepatan dengan Hari Sabtu dan oleh perempuan yang datang bulan. Dua ketentuan itu dipercaya warga setempat terkait dengan upaya mereka menghindarkan sial keluarga.

Dibandingkan dengan proses pengolahan padi menjadi nasi, cukup rumit dan butuh waktu lebih lama mengolah jagung sejak masih "ontong" menjadi nasi jagung.

Riyadi mengatakan, nasi jagung sejak zaman dahulu hingga saat ini masih menjadi makanan pokok warga Gunung Merbabu di desanya.

Sesekali, mereka juga makan nasi dari beras yang lebih simpel pengolahannya, apalagi saat masa sibuk mengolah pertanian.

"Kalau sekarang karena soal waktu, supaya lebih banyak bisa untuk menggarap ladang dan sayuran, sehingga sekali-kali makan nasi dari beras. Kalau ditanya enak mana jagung dengan beras, kalau saya tetap enak makan nasi jagung," kata Tegel.

Ia pun mengambil dari satu meja makan di rumahnya, "secething" (wadah nasi dari anyaman bambu, red.) nasi jagung masakan istrinya, dua hari lalu.

Pembuatan nasi jagung antara lain melalui tahapan pengupasan jagung "ontong" menjadi pipilan, "kecrok" berupa menumbuk secara manual menggunakan lumpang, perendaman selama tiga hari, pencucian untuk menghilangkan bau tak sedap, "pengecrokan" hingga menghasilkan tepung, pengukusan pertama untuk menghasilkan "karon", pengukusan kedua menjadi "kemeh", dan pengukusan ketiga menjadi nasi jagung siap santap.

Di dusun itu, seorang janda sekitar 55 tahun bernama Mbah Usrek secara khusus menjadi buruh "pengecrok" dengan upah Rp500 per kilogram jagung siap masak.

Ia memiliki masing-masing dua lumpang dan alu untuk melayani permintaan warga. Sebagian warga setempat sering memintanya menumbuk jagung hingga siap dimasak atau menjadi tepung jagung.

"Satu hari, dua sampai tiga tetangga datang minta jagungnya `dikecrok`, hasilnya tidak tentu, tetapi rata-rata tiga hingga lima kilogram per hari," katanya dalam bahasa Jawa.

Mbah Usrek yang tinggal di rumah kayu sederhana dan berlantai tanah tersebut, juga setiap hari makan nasi jagung. Di dapur rumahnya juga terdapat "paga" di atas luweng dengan stok jagung kering sekitar 70 "ontong".

Hampir semua rumah warga setempat memiliki "paga" dengan stok jagung, lumpang, dan alu dengan ukuran bervariasi untuk menumbuk jagung. Lumpang dari batu itu mereka letakkan di luar tempat tinggal masing-masing.

Perempuan dusun setempat, biasanya membutuhkan waktu selama sekitar empat jam untuk mengolah, dari pencucian untuk menghilangkan bau tak sedap jagung "kecrokan" menjadi nasi jagung siap santap.

Sekitar 50 "ontong" jagung menghasilkan kira-kira empat kilogram tepung jagung, untuk dimasak menjadi nasi jagung guna kebutuhan selama enam hari, seperti dialami keluarga Tegel.

Ia pun mengira-ira perbandingan dengan beras yang empat kilogram nasi beras untuk kebutuhan selama empat hari. Selain itu, nasi jagung mampu bertahan dalam kondisi tetap enak dimakan hingga tiga hari, sedangkan nasi beras sehari.

Harga jagung pipilan di tingkat petani setempat saat ini Rp2.500 per kilogram, sedangkan sekitar dua bulan lalu, saat belum panen raya, antara Rp3.000 hingga Rp3.500. Data Dinas Perdagangan dan Pasar Pemerintah Kabupaten Magelang selama 1-5 Maret 2012, harga jagung pipilan kering di sejumlah pasar tradisional skala besar di daerah itu stabil, Rp3.800 per kilogram.

Berdasarkan data Pemkab Magelang 2011 tentang produksi jagung, selama empat tahun terakhir cenderung mengalami penurunan. Pada 2008 produksi sebanyak 82.739 ton dengan luas panenan 15.489 hektare, pada 2009 sebanyak 77.470 ton dengan luas panenan 14.105 hektare, pada 2010 sebanyak 77.837 ton dengan luas panenan 13.739 hektare, dan pada 2011 sebanyak 63.184 ton dengan luas panenan 11.541 hektare.

Sebagian masyarakat di kawasan beberapa gunung yang mengelilingi Magelang seperti Merbabu, Andong, Sumbing, dan Merapi, hingga saat ini makan nasi jagung.

Bahkan, seperti di Dusun Gejayan di kawasan Merbabu, sekitar 90 persen dari total warga setempat masih makan nasi jagung untuk pemenuhan karbohidrat sehari-hari.

Mereka melengkapi sajian nasi jagung menjadi terasa "nyamleng" a
ntara lain dengan lauk ikan asin, sayuran tahu dan tempe bersantan, "kuluban" sawi, dan sambal kosek.

"`Langkung awet wareg e`," kata Tegel dalam bahasa Jawa yang maksudnya lebih lama terasa kenyang makan nasi jagung ketimbang nasi beras. (M029*H018)

Editor: B Kunto Wibisono

COPYRIGHT © 2012

Selasa, 13 Maret 2012

Aroma Rekreasi Wisata Pegunungan, Kopeng

Kopeng adalah nama sebuah desa yang terletak di Kecamatan Getasan, Semarang, Jawa Tengah, 14 km arah barat daya dari Kota Salatiga. Terletak di ketinggian 1.450 m dari permukan laut, kawasan Kopeng dikelilingi oleh Gunung Telomoyo, Gunung Andong dan Gunung Merbabu.

Desa yang terkenal dengan suasana dan panorama alam pegunungan yang menarik ini menjual berbagai hasil pertanian masyarakat sekitar seperti sayur, buah, dan tanaman hias. Selain itu, terdapat berbagai fasilitas rekreasi, seperti bungalow, kolam renang, penginapan dan restoran yang dikelilingi taman bunga, kolam pemancingan serta bumi perkemahan.

Untuk menuju lokasi ini, kamu bisa menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat ke arah Kopeng, lho. Kondisi jalannya sudah beraspal mulus. Namun, berhati-hatilah saat berkendara, karena lebar jalan hanya cukup buat dua mobil saja.

Di lokasi wisata Kopeng, juga terdapat air terjun Umbul Songo, yang berarti sembilan mata air. Nah, jika kalian masuk ke lokasi Umbul Songo ini, akan tercium semerbak udara pegunungan yang bersih dan harum bunga-bunga liar yang tumbuh di sekitar lokasi wisata. Hmm.. segar.

Di sekitar kawasan wisata, juga terdapat banyak villa yang dilengkapi fasilitas TV dan air panas, ruang pertemuan, ruang makan. Buat kamu yang pengen memasak sendiri, tempat ini cocok buat kalian, karena villa-villa disini juga telah dilengkapi dapur. Nah, serasa di rumah sendiri, bukan.

Bagi kamu yang suka dengan rekreasi beraroma wisata pegunungan, Wisata Kopeng adalah tempat yang tepat buat kamu. Melihat Gunung Merbabu diterawangi oleh sinar matahari sore hari, tentu akan menjadi momen yang nggak terlupakan bukan.

Kopeng Treetop

Nah, nggak cuma wisata alam yang ada di wisata Kopeng, lho. Disini kita juga bisa rekreasi adrenalin di Kopeng Treetop. Petualangan dari pohon ke pohon dengan melewati berbagai tantangan yang berbeda, akan menjadi hal seru yang nggak terlupakan.

Kopeng Treetop merupakan bagian dari Treetop Adventure Park yang tersebar di seluruh dunia dan sekarang lebih dari 350 jaringan Adventure Park. Bermula dari tahun 1995, Treetop Adventure Park pertama kali dibuat di French Alps, Perancis dan di tahun 2005 sebanyak 300-an taman telah menyebar di Inggris, Spanyol, Italia, Swiss dan Kanada.

Baru pada tahun 2010, Kopeng berkesempatan menjadi bagian dari Jaringan Adventure Park dengan dibukanyaKopeng Treetop Adventure Park di Getasan, Kopeng, Salatiga. Disini, berbagai permainan menantang, sepertiflying fox, spider jump, jembatan tali dan balok variasi, lorong gantung anak, trampollin jaring, dan repling pohon menjadi sensasi nyali tersendiri.

Setiap sirkuit telah dirancang sedemikian rupa, dengan tingkat kesulitan yang bertahap untuk dewasa dan anak-anak (mulai umur 4 tahun), dengan variasi dari 2- 20 meter di atas pohon. Di sepanjang challenges di seluruh sirkuit Kopeng Treetop, setiap peserta akan terkait dengan “life-line support” sehingga kenyamanannya akan terjamin.

Jangan khawatir saat bermain, karena peralatan yang digunakan berstandar Eropa dan petugas terlatih yang siap mengawal dan membantu anda di bawah pengawasan Technical Advisor dari Perancis. Wow!

Bila sudah merasa lapar, kamu bisa mampir ke kantin atau jajan di warung makan di sekitar wisata Kopeng. Semangkok bakso dan teh hangat, mungkin bisa menjadi menu yang menarik di sela-sela dinginnya udara.

Selamat berlibur ya!

sumber : suara merdeka

Senin, 20 Februari 2012

JEJAK KIJANG DI PERTANIAN






Menebar Gembira di Atas Jembatan Desa

Oleh M. Hari Atmoko

Modin Bejo (52) berjalan menuju tengah jembatan, dia membawa sekeranjang bunga mawar dan tempayan warna hitam berisi pisang raja, kembang melati, kantil, serta kemenyan yang terbungkus daun pisang.

Lelaki yang mengenakan sendal jepit warna hitam, berpakaian motif batik, dan berpeci itu lalu bersila di atas jalan bertata batu di jembatan Sungai Gondang.

Jembatan itu penghubung Dusun Puluhan, Desa Banyusidi dengan Compok, Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, di antara dua tebing setinggi sekitar 15 meter.

Ibu jari dan telunjuk tangan kanannya mengapit sebongkah kecil kemenyan. Didekatkan kemenyan itu beberapa centimeter di depan mulutnya, lalu ia mulai melafalkan doa yang intinya ungkapan syukur warga atas selesai pembangunan jembatan antardusun di kawasan barat Gunung Merbabu tersebut.

Sejumlah burung berterbangan bebas sambil berkicau, mencari tempat hinggap di antara pepohonan pinus di kawasan itu.

Para penari tradisional topeng ireng grup Putra Baruna Dusun Puluhan berdiri berderet di jalan desa di bawah tebing tak jauh dari jembatan itu bersama anak-anak madrasah setempat yang memainkan drum band. Mereka bersama warga setempat turut masuk dalam suasana ritual syukur yang dilakukan sang modin di atas jembatan tersebut.

Ujung barat jembatan terpampang gapura kontemporer terbuat dari tatanan batang pohon "galar" beratap ijuk dengan hiasan sabut kelapa, daun pakis, rumbai-rumbai dari rangkaian buah aren, dan hiasan melengkung dari janur.

Persis di tengah bagian atap gapura kontemporer itu berupa instalasi dari ijuk membentuk semacam burung garuda. Di tengah gapura tergantung papan kecil bertuliskan "Selamat Datang", seolah tanda penyambutan siapa saja yang hendak masuk ke dusun itu melewati Jembatan Kali Gondang.

Tak beberapa lama kemudian, Bejo dengan disaksikan antara lain masyarakat setempat, Camat Pakis Wisnu Harjanto, Kepala Taman Nasional Gunung Merbabu Wilayah II Magelang Sihono, Kepala Desa Bayusidi Riyadi, dan Kepala Dusun Puluhan Suyitno, berdiri dan berjalan mengelilingi jembatan sambil menaburkan kembang mawar warna merah dan putih.

Camat Wisnu dengan pakaian seragam birokrat pemda setempat pun kemudian berdiri di tengah jembatan sepanjang 12 meter dan lebar empat meter itu.

Ia memegang sepasang burung merpati. Saat musik pengiring tarian topeng ireng dan satu nomor musik drum band dikumandangkan, sepasang burung itu pun dilepas dan terbang melewati pepohonan di antara dua tebing itu.

Jembatan lama yang dibangun secara swadaya masyarakat setempat era 1980-an hancur diterjang banjir sungai itu pada Desember 2010. Jembatan itu jalur utama yang memudahkan warga setempat, yang hendak menjual panenan hortikultura antara lain ke Pasar Pakis, Pasar Kaponan, dan Pasar Ngablak.

Selain itu, jembatan tersebut juga sarana paling dekat bagi anak-anak desa setempat untuk menjangkau sekolahnya di SMP dan SMA di kota Kecamatan Pakis.

Warga setempat berjumlah 231 jiwa atau 63 keluarga dengan hampir semuanya bermatapencaharian sebagai petani hortikultura terutama cabai, tomat, dan kubis.

Jembatan itu juga menjadi jalur penting untuk aktivitas perekonomian, akses pendidikan, dan kesehatan warga di beberapa desa lainnya di kawasan itu. "Itu jalur penting kami selama ini untuk menjangkau ibu kota kecamatan kami," kata Suyitno.

Warga harus menempuh jalan yang lebih jauh untuk keluar desanya atau menjangkau kota kecamatan guna berbagai kepentingan, akibat putusnya jembatan tersebut.

Pembangunan jembatan baru di atas sungai itu untuk menggantikan jembatan yang telah hancur dilakukan secara swakelola sejak Juli 2011 hingga awal Januari 2012.

Total biaya pembangunan jembatan baru mereka sekitar Rp94,714 juta. Sekitar Rp89 juta di antara total dana itu berasal dari alokasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Pedesaan 2011. Dana itu juga untuk pembangunan saluran air di sekitar jalan menuju jembatan. "Sempat terhambat pembangunannya satu bulan karena proses pencairan dana," katanya.

Camat Wisnu menyampaikan apresiasi atas selesainya pembangunan jembatan penghubung antardesa di kawasan gunung itu secara swakelola oleh masyarakat setempat.

"Ini syukuran masyarakat. Mereka juga harus merawat, menjaga, dan melestarikan lingkungan sekitar ini agar tetap lestari," katanya.

Ungkapan gembira atas selesainya pembangunan jembatan di desa mereka pun bagaikan makin diperkuat menjadi pesta masyarakat Gunung Merbabu.

Pusat dusun itu menjadi tempat keramaian masyarakat karena sejumlah pementasan kesenian tradisional seperti tarian "Ndayakan", "Geculan Bocah, dan "Gupolo Gunung". Belum lagi, puluhan orang di tepi kanan dan kiri jalan desa itu serta di teras-teras rumah warga setempat menggelar berbagai dagangan seperti jajanan, mainan anak-anak, pakaian, dan aneka menu makanan lainnya.

Tabuhan iringan musik tradisional seperti gamelan, "truntung" dan "jedor" menggema sepanjang siang hari di kawasan gunung itu. Deretan meja tamu di setiap rumah mereka bertata aneka makanan yang tersuguh baik dalam piring maupun "topeles" untuk siapa saja yang singgah.

Untuk jembatan baru di desanya, mereka tulus dan total mengungkap kegembiraannya.


sumber : Kompas

Rabu, 15 Februari 2012

Pakis Sentra Pengembangan Buah Nangka

PAKIS, suaramerdeka.com -Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang menjadi salah satu sentra pengembangan buah nangka. Nangka dari lereng Merbabu ini tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pasar Magelang namun juga sampai ke Yogyakarta.

Sebagian besar bahan baku gudeg di Yogyakarta bahkan dipasok dari wilayah Pakis. Hanya saja karena pedagang Yogyakarta mengambil dari Pasar Muntilan maka mereka lebih mengenal sebagai nangka Muntilan.

Camat Pakis Wisnu Haryanto Ssos mengatakan di wilayahnya ada sekitar 2000 pohon nangka produktif. "Dari 19 desa di Pakis 18 desa diantaranya merupakan penghasil buah gori atau nangka. Terbanyak di Desa Banyusidi, Bawang, Petung dan Daseh," kata Wisnu, baru-baru ini.

Menurut Wisnu setiap hari ada pedagang dari luar daerah yang mengambil nangka dari para petani. Ia optimis jika dikembangkan dengan baik nangka bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Sayangnya, harga jual buah nangka di tingkat petani masih sangat rendah. Dibanding komoditas tanaman lain, harga buah nangka kalah jauh. "Harga nangka di petani masih murah sekali. Rata-rata hanya Rp 1.000 per biji," ujarnya.

Menurut Budi, salah satu petani, para pedagang biasanya membeli buah nangka sejak masih di atas pohon. Mereka memborong seluruh buah nangka dalam satu pohon dengan harga tertentu. Pembelian borongan ini membuat harga nangka tidak bisa tinggi.

"Model borongan tidak memperhitungkan kualitas dan ukuran. Hitungannya tidak per biji lagi, tapi disamaratakan. Hanya saja jika dihitung, harganya sekitar Rp 1000 per biji baik untuk ukuran besar maupun kecil," kata Budi.

Sementara itu, petugas Mantri Tani Pakis Suyanto mengatakan, rata-rata setiap pohon dapat berbuah sekitar 10 hingga 20 biji. Jika dirawat dan dipupuk dengan baik buah yang dihasilkan akan semakin banyak dan berkualitas.

Ia menganjurkan para petani untuk menjuah buah nangka hanya setelah matang menjadi buah. Pasalnya, harga satu buah nangka bisa mencapai lebih dari Rp 15 ribu. Dengan jumlah ini, tentu petani akan memeroleh hasil yang tinggi sehingga kesejahteraan meningkat.


sumber : suara merdeka

Bertahun-tahun Menjaga Tradisi Wedang Ronde

Oleh Bambang Isti

WEDANG ronde adalah eksotisme kota Salatiga. Di kota berhawa sejuk di lereng Gunung Merbabu ini pada setiap malamnya, orang bisa menikmati minuman rekreatif bernama ronde. Disebut rekreatif karena hanya cocok disajikan pada saat hawa dingin.

Itu sebabnya wedang ini berunsur bahan yang bisa menawarkan rasa dingin itu, misalnya jahe dan serai. Sedangkan ronde adalah unsur utama minuman manis ini, yakni berupa butiran-butiran "kue" seukuran bakso yang berasal dari adonan ketan, yang diisi dengan gula dan gerusan kacang tanah.

Bahan lain adalah irisan kolang-kaling dan agar-agar dan kacang tanah. Kuah dari minuman ini berunsur angat seperti serai dan jahe. Nah, kedua unsur inilah yang menyebabkan wedang ronde ini menjadi minuman hangat.

Sejarah wedang ronde sulit dirunut. Namun sekitar tahun 1930 an, minuman ini sudah populer di sekitar kota Boyolali, Solo, Salatiga dan Ambarawa. Konon minuman ini favorit pejuang nasional, tokoh Katholik Mgr Soegijapranata saat tinggal di Ambarawa.

Di kota Salatiga, tradisi wedangan ini ada di sebagian ruas jalan Jendral Sudirman. Persisnya di emperan Toko Tegal. Sebuah toko roti yang sudah berpuluh-puluh tahun berdiri. Di kawasan ini menjadi sentra penjual ronde.

Salah satunya yang mempertahankan tradisi perondean itu adalah Suparno. Dia ada diantara sekitar 15 tukang ronde. Namun ada yang membedakan Suparno dengan tukang ronde yang lain, yakni, dia masih menggunakan angkringan khas tukang ronde tahun 30 an.

Angkringan ini dibuat dari unsur rotan, kayu, lampu teplok, dan pemanas dengan bahan arang. Sedangkan penjual ronde di era moderen berada di gerobak dorong dengan penerangan listrik.

Suparno punya alasan, "Mengapa saya tidak memakai gerobak ya, saya ingin mempertahankan ciri khas di masa lalu saja, ingin melestarikan," kata Suparno Hari Sabtu (4/2) menjelang tengah malam.

Figuran film

Dalam usaha melestarikan itu tadi, akhirnya berbuah berkah. Karena belum lama ini, persisnya bulan November 2011 lalu, Suparno diajak sutradara Garin Nugroho main film "Soegija" saat melakukan take shoot di Ambarawa. Meski hanya sebagai figuran, "Tapi alhamdulillah saya dikasih honor Rp 200 ribu, hehe," kata Suparno.

Angkringan serta semua jualan Suparno diboyong ke musuem kereta api Ambarawa tempat Garin Nugroho membesut beberapa adegan. "Diajak main film itu menjadi pengalaman yang amat berharga, saya senang sekali," kata lelaki asli Boyolali ini.

Menjadi penjual ronde angkringan tampak bukan pilihan hidup Suparno. "Karena sebelumnya saya berdagang buah, tapi karena kesulitan modal dan terus merugi, saya pindah jualan ronde angkringan sampai sekarang," kata dia.

Dalam semalam buka dasar, minimal dia mengantungi untung antara Rp 50 ribu - Rp 100 ribu. "Tapi kalau sepi malah tidak sampai segitu," sambung Suparno.

Tidak mengapa, hidup adalah perjuangan. Karena kalau tidak ada Suparno dan segelintir para penjual ronde di Salatiga ini, siapa lagi yang akan melestarikan kuliner tradisional ini?

Pemkot Salatiga perlu melirik dan lebih serius memikirkan masa depan sektor informal ini. Karena dari para penjual ronde itu, beberapa buah mobil bernomor kendaraan luar kota parkir berderet di kawasan Toko Tegal ini. Mereka ingin menikmati sensasi hangatnya wedang ronde.

Bukankah ini kontribusi yang baik untuk popularitas kota Salatiga?


sumber : suara merdeka

50 Ha Hutan Gunung Merbabu Direhabilitasi

MAGELANG--MICOM: Taman Nasional Gunung Merbabu Wilayah II Magelang merehabilitasi sekitar 50 hektare hutan yang masuk daerah dua kecamatan di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, pada 2012.

"Masing-masing 25 hektare di Kecamatan Sawangan dan Pakis, kawasan Gunung Merbabu," kata Kepala TNGM Wilayah II Magelang Sihono di Magelang, Jumat (3/2).

Ia menjelaskan rehabilitasi hutan itu sebagai salah satu upaya pelestarian kawasan hutan di Gunung Merbabu, memperkuat peranan sebagai daerah sumber air, dan penyerapan oksigen.

Program rehabilitasi hutan lahan tersebut antara lain berupa penanaman pohon penghijauan seperti puspa, cemara gunung, akasia dekuren, dan beringin. Pihaknya juga mengakomodasi kepentingan masyarakat sekitar hutan melalui penanaman jambu biji dan duwet.

Ia mengatakan program itu dilaksanakan pihaknya dengan melibatkan secara menyeluruh masyarakat kawasan hutan.

"Mereka 100 persen terlibat, melalui kelompok tani mereka berperan dalam RHL (Rehabilitasi Lahan Hutan) ini, kami memonitor pelaksanaannya," katanya.

Taman Nasional Gunung Merbabu melakukan program RHL seluas 800 hektare dengan dana sekitar Rp2,4 juta pada 2010 di berbagai tempat di Kabupaten Magelang. Program serupa seluas 190 hektare dengan dana sekitar Rp1,1 juta pada 2011 di berbagai tempat di kabupaten itu.

"Tahun ini kami usulkan ke pusat untuk sekitar 50 hektare dengan dana sekitar Rp200 juta untuk dua kecamatan. Totalnya selama tiga tahun terakhir RHL mencakup sekitar 1.000 hektare," katanya.

Jumat, 03 Februari 2012

Tarif PNBP dikawasan Pegunungan





Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 59 tahun 1998 tentang tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan serta Permenhut Nomor . P11/Menhut-II/2007 tentang Pembagian Rayon di TN, Tahura, TWA, dan Taman Buru dalam Rangka Pengenaan PNBP Menteri Kehutanan.


Sesuai pembagian rayon maka pada Balai Taman Nasional Gunung Merbabu masuk kedalam rayon Taman Nasional Gunung Merbabu bersama dengan TN Siberut (sumbar), Berbak (jambi) , Gunung Ciremai (Jabar), Merapi, Merbabu (jateng), Danau Sentarum, Betung Kerihun, Bukit Baka Bukit Raya (kalbar), Kutai (Kaltim), Rawa Aopa watumohai (sultra), Teluk Cendrawasih (Papua) merupakan Kawasan yang masuk Rayon II. Tarif* yang berlaku adalah meliputi sbb:


  1. Pengunjung


    1. Mancanegara Rp.15.000,-

    2. Nusantara Rp. 1.500,-


  2. Kendaraan darat


    1. Kendaraan roda 2 Rp. 2.000,-

    2. Kendaraan roda 4 Rp. 4.000,-


  3. Pengambilan dan Snapsot :



  1. Wisatawan Mancanegara



1. Film Komersial Rp. 2.500.000,-


2. Video Komersial (dok Cerita) Rp. 2.000.000,-


3. Handycamp (Non Komersil) Rp. 150.000,-


4. Foto (Non Komersil) Rp. 50.000,-


  1. Wisatawan Nusantara



1. Film Komersial Rp. 1.500.000,-


2. Video Komersial (dok Cerita) Rp. 1.000.000,-


3. Handycamp (Non Komersil) Rp. 12.500,-


4. Foto (Non Komersil) Rp. 3.000,-


  1. Olahraga/Rekreasi Alam Bebas



  1. Berkemah



1. Wisatawan mancanegara Rp. 20.000,-


2. Wisatawan Mancanegara Rp. 15.000,-


)*jenis tarif yang dimasukkan hanya yang ada pada kawasan pegunungan

Minggu, 22 Januari 2012

Ritus Ondo Gunung, Refleksi di Ujung Tahun

Guntur berentetan menggelegar, disusul gerimis menetes terkesan malu-malu membasahi kawasan tepi alur Sungai Pabelan Mati, sekitar 3,5 kilometer timur Candi Borobudur.Berbalut tatanan kain batik yang seakan mengambarkan kemegahan figur raja, seorang pemimpin seniman petani Komunitas Lima Gunung Magelang, Sitras Anjilin, berdiri di tengah konfigurasi lingkaran mereka lainnya di panggung terbuka Taman Metamorfosa Studio Mendut, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, satu malam menjelang pergantian Tahun 2011 ke 2012.Gemericik air mengalir di alur Kali Pabelan Mati, yang diduga bekas jalur banjir lahar Gunung Merapi tempo dulu, menjadi pewarna kental atas pergelaran "Ritus Ondo Gunung" oleh KLG Magelang dengan penonton dalam jumlah terbatas.Hujan cukup deras memang baru saja turun di kawasan itu, pada sore hari. Tatkala gelap mulai menusuk sekitar Kali Pabelan Mati itu, seakan hujan meluangkan waktu untuk mereka mementaskan refleksi akhir tahun "Ritus Ondo Gunung" komunitas seniman petani tersebut.Sejumlah orang mengusung dua batang gedebok sebagai bagian dari kelir wayang kulit kontemporer yang dimainkan komunitas seniman petani "Sanggar Saujana", Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, di antara Gunung Merapi dengan Merbabu, pimpinan Sujono.Dalang Heru Setyawan berpakaian adat Jawa gaya Yogyakarta, duduk bersila di atas tanah di antara dua kelir kontemporer itu, memainkan lakon "Wangsit Ponconingrat".Musik gamelan ditabuh para pengrawit dengan sentuhan "kepyak" dan "kecrek" dari kaki sang dalang muda, anggota komunitas "Sanggar Saujana" itu pun bertalu-talu mewarnai penceritaan "Wangsit Poncowati".Lakon carangan berdurasi cukup singkat itu bertutur pencarian makna "Wangsit Poncowati" yang diterima tokoh wayang Ongkowijoyo atau Abimayu dari para dewa di kayangan. Ia dikisahkan bertanya kepada Semar tentang wangsit itu yang ternyata berisi makna "lima ondo" atau lima tangga pencapaian kehidupan manusia.Ongkowijoyo yang kemudian bertapa di hutan, diceritakan sang dalang berhasil mengalahkan Cakil dan para buto raksasa karena memiliki kesaktian atas makna "Wangsit Poncowati".Seniman lainnya yang memainkan ritus sebagai pentas refleksi akhir tahun komunitas seniman petani Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh itu dengan berbagai properti antara lain Ismanto, Sujono, Sucipto, Supadi, Riyadi, Wenti Nuryani, Rahmad Murti Waskito, Djoko Widiyanto, Pangadi, Noviana Ayomsari, dan Dorothea Rosa Herliany. Mereka serba berpakaian warna hitam dengan iket dan belangkon di kepala.Dua seniman gadis, Dian dan Alfi, masing-masing mengenakan pakaian adat peranakan Jawa, duduk simpuh mengapit Pangadi, pemimpin "Sanggar Wonoseni" Kecamatan Bandongan, yang bersila dengan di depannya berproperti kendi, bunga mawar, dan tempayan berisi air.Mereka memainkan performa ritus "Ondo Langit" lambang refleksi tentang ilmu pengetahuan yang tak pernah berujung untuk diteguk.Terkait dengan ritus "Ondo Langit", pemimpin tertinggi KLG Magelang Sutanto Mendut menyebut kata "menoreh" untuk nama Pegunungan Menoreh, tak lepas dari pesan simbolis tentang budaya "membaca dan menulis"."Menoreh adalah menulis sesuatu, mencatat apa saja. Kita lemah dalam kerangka kebudayaan menulis. Sekarang orang ramai-ramai menulis di jejaring sosial. Tetapi apakah itu bukan sekadar karena kekosongan jiwa. Masyarakat Jepang, China, Myanmar, Thailand mempunyai catatan lengkap dibanding masyarakat Indonesia saat ini yang memuja kebudayaan," katanya.Sutanto yang juga pengajar Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu mengemukakan, nenek moyang bangsa Indonesia hidup dalam belenggu ilmu pengetahuan dan kearifan yang kemudian ditorehkannya dalam wujud kesenian, gamelan, wayang kulit, ataupun Candi Borobudur.Belajar yang sesungguhnya, katanya, telah dilakoni nenek moyang bangsa sehingga mereka menghasilkan karya kebudayaan yang hingga saat ini diagungkan secara turun-temurun, antargenerasi."Tetapi generasi saat ini terlena dengan keagungan, lupa mencatat setiap ’lelakon’ apa saja. Hasilnya antara lain banyak seniman melakukan tindakan kesenian tanpa latar belakang ilmu pengetahuan, sehingga asal di panggung dan dipotret. Dan ketika turun panggung terjadi ketidakseimbangan diri dengan kehidupan nyata," katanya.Lelaki tua berkarakter kekar berasal dari Gunung Merbabu, Sucipto, duduk bersila di tanah panggung terbuka berproperti payung raksasa dengan kerangka besi. Di depannya setumpuk penuh kembang mawar merah putih, sedangkan di sampingnya properti ritus mereka tentang "Ondo Kencono", lambang refleksi tentang kekuasaan.Ritus "Ondo Kencono" disebut Riyadi yang juga pemimpin Padepokan "Wargo Budoyo Gejayan" Kecamatan Pakis, lereng Gunung Merbabu sebagai refleksi pencapaian manusia atas suatu cita-cita, termasuk keinginan meraih kursi kekuasaan."Saya prihatin. Yang terjadi itu kekuasaan bukan untuk orang baik, benar, dan jujur, tetapi orang berduit yang memperoleh kekuasaan. Mungkin ini bagian dari suatu proses. Tetapi nanti yang terjadi tidak ubahnya dengan kemarin, yang berkuasa yang punya duit," katanya.Seniman Sujono berpakaian adat Jawa warna hitam dengan surjan, bebet, dan belangkon bersama empat pelaku juru kunci Museum Kali Wangsit di tepi Kali Pabelan Mati itu, Djoko, Fredy, Arwanto, dan Kipli, masing-masing berbalut kain hitam, memainkan gerakan performa "Ondo Bumi" di sudut panggung Taman Metamorfosa.Ritus "Ondo Bumi", menurut Sujono, lambang refleksi kesejahteraan petani yang hingga saat ini masih sebatas permainan harga panenan hasil bumi mereka oleh para pihak yang berkepentingan.Di ujung panggung terbuka, tepatnya di depan dua patung batu penghias Taman Metamorfosa itu, Wenti dan Waskito, memainkan performa sambil masing-masing duduk timpuh dan bersila, dengan di depannya bunga mawar di atas cobek beralaskan secarik kain merah. Mereka memainkan ritus "Ondo Tresno", simbol refleksi cinta yang penuh makna universal."’Tresno’ atau cinta bukan sekadar antara laki-laki dengan perempuan, tetapi ’tresno’ kepada lingkungan, sesama, kebudayaan. Banyak peristiwa selama 2011 menjadi keprihatinan bersama karena tidak ada ’tresno’. Tindakan kekerasan tidak menyelesaikan persoalan kekerasan itu sendiri seperti kasus Bima dan Mesuji. Juga bunuh diri massal, bapaknya, ibunya dengan anaknya. Kalau memang mencintai tentu ingin memberikan yang terbaik kepada yang dicintai," kata Wenti.Berbagai tindak kekerasan, kata Wenti yang juga pengajar tari Universitas Negeri Yogyakarta itu, karena tekanan psikologis dan sosial dialami masyarakat, sedangkan negara memiliki andil cukup signifikan terhadap merebaknya tekanan hidup karena belum berhasil menyemai rasa aman dan nyaman masyarakat.Ia menyebut negara belum berhasil membangun "tresno" dengan rakyat sehingga muncul sejumlah kelompok arogan yang secara latah mengejawantahkan semboyan "sedumuk bathuk senyari bumi, dilakoni nganti pati", yang kira-kira maksudnya suatu pembelaan secara mati-matian."Ondo Jiwo"Sitras yang juga pemimpin Padepokan "Tjipto Boedojo Tutup Ngisor" di lereng barat Gunung Merapi, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, melakukan performa gerak "Ondo Jiwo", seakan mengikuti tembang bahasa Jawa berlanggam kreasi yang dilantunkan Noviana dari pojok gelap di samping patung batu setinggi dua meter, Monumen Lima Gunung.Tembang berjudul "Amurwani" yang dilantunkan Noviana yang mahasiswi Jurusan Tari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta itu, kira-kira berisi pesan pentingnya setiap orang meneladan kebaikan karena kebaikan menjadi kekuatan penopang dari berbagai mara bahaya, modal penolong terhadap sesama yang sedang menghadapi bencana, dan fondasi atas perlindungan manusia oleh Tuhan."’Amurwani sinunggati, mrih tulodho, sinanggite pasemone mugi hayu rahayu, kalising bebendhu, pinayoman Hyang Agung, asih mring nugroho, pinayoman pinayoman mring Hyang Agung, maha asih mring nugroho’," demikian sepenggal tembang tersebut.Selagi tembang itu melantun, Supadi yang juga pemimpin grup kesenian "Andong Jiwani" Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, di lereng Gunung Andong, sambil berjalan perlahan di antara pancangan properti sejumlah tiang bambu berbalut kain hitam dengan bercantelkan aneka topeng kayu bertutup kukusan di panggung, melafalkan abjad Jawa."’Ha, Na, Ca, Ra, Ka. Da, Ta, Sa, Wa, La. Pa, Dha, Ja, Ya, Nya. Ma, Ga, Ba, Tha, Nga’," demikian lafal yang diucapkannya berulang-ulang, menghasilkan iringan bunyi menyerupai mantra dan menghias suasana pentas refleksi akhir tahun KLG, berdurasi sekitar 1,5 jam itu.Penyair Dorothea Rosa Herliany dari sudut gelap panggung juga membalut aura pentas refleksi itu melalui pembacaan puisi berbahasa Inggris karyanya "Dancer in the Land of Love".Tetesan-tetesan air turun dari pucuk dedaunan pepohonan dan sudut berbagai patung batu di Taman Metamorfosa Studio Mendut, ketika malam itu Ismanto yang juga pemimpin grup komunitas "Gadung Mati" Desa Sengi, Kecamatan Dukun, di lereng Gunung Merapi, didampingi anak gadisnya, Sekar, menimpali performa seniman petani dengan mengucapkan berulang-ulang kalimat "’Dha lara’" yang artinya "mereka sakit".Saat sesi pidato refleksi kebudayaan Lima Gunung, Sitras Anjilin mengemukakan peranan jiwa sebagai inti kehidupan, pusat pikiran dan tindakan setiap manusia, termasuk yang menghasilkan karya budaya."Orang sakit jiwa tidak bisa memerintah budi, tindakannya seenaknya saja karena jiwa tidak menjadi kusir atas budi dan panca indera. Saya rasakan tahun 2011 banyak orang tidak menjiwai profesinya. Jiwa kepemimpinan, pedagang, seniman sudah hampa. Mungkin jiwanya bukan sakit jiwa, tetapi mengalami kejenuhan jiwa," katanya.Ia mengatakan, orang divonis mati jika telah ditinggalkan oleh jiwanya.Tetapi, Sitras yang juga pemimpin spiritual KLG itu juga menyebut ketidakseimbangan antara jiwa dengan raga membuat banyak orang hidup dalam kecemasan, tanpa pengharapan, dan "makarti" atau tindakannya tidak lurus."Kalau satu orang jiwanya tidak stabil, akan memengaruhi lingkungan. Banyak orang jiwanya tidak stabil saat ini. Kita perlu selalu berusaha menyadari dan mengontrol jiwa kita. Saya mengajak meneliti jiwa kita, masih utuh atau berkurang. Masih betul-betul waras atau sedikit ada penyakitnya," katanya.Melalui "Ritus Ondo Gunung" itu, kalangan petani gunung pun mengajak siapa saja berani bercermin. Mumpung di ujung tahun.
sumber : Kompas